Budaya “Mantera” (Opo-Opo) dalam kehidupan Nelayan di Pulau Makalehi

Scroll Text - http://www.marqueetextlive.com

Halo Bloger mania Khususnya Pecinta Seni budaya yang ada di Propinsi Sulawesi Utara, saat ini saya ingin menulis mengenai Mantera (opo opo) dalam suatu kehidupan para nelayan di pulau makalehi. tulisan ini saya buat khususnya untuk mengikuti lomba blog seni budaya Sulut. jadi begini ceritanya :

sebelum saya masuk ke cerita intinya, terlebih dahulu saya ingin teman-teman tau Pulau Makalehi adalah sebuah Pulau terluar yang terletak di kabupaten SITARO (Siau Tagulandang Biaro). Pulau makalehi ini adalah pulau indah yang ditengahnya terdapat danau yang mempesona. kehidupan masyarakat makalehi sebagian besar bergantung dari hasil laut. yang profesinya kita kenal sebagai nelayan.

dalam kehidupan masyarakat pulau makalehi banyak terdapat keaneka ragaman seni dan budaya, diantaranya budaya mantera dalam kehidupan para nelayan. jika kita berpikir sejenak maka akan muncul pertanyaan di dalam hati, apakah masih ada cara-cara seperti itu di dunia yang semakin moderen ini, terlebih masyarakat Sulawesi Utara sangat taat dalam memeluk agama dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. tetapi ini adalah suatu kenyataan yang sudah merupakan budaya yang ditinggal para leluhur ceritanya, yaitu Mantera. mantera yang dimaksud disini adalah mantera yang digunakan oleh para nelayan di Pulau Makalehi Pada pembuatan perahu baru yang dipakai untuk alat kerja nelayan, peluncuran perahu baru, menangkap ikan bahkan sampai menenangkan ombak. oleh karena itu dipanggilah roh-roh nenek moyang untuk memohon perlindungan dan berkat. Begitu berartinya roh-roh leluhur bagi para nelayan, sehingga banyak dari aktivitas pekerjaannya melibatkan campur tangan roh-roh leluhur upung. Dalam memanggil roh-roh leluhur itu, diperlukan tata cara tradisional khusus yang menggunakan mantera. Mantera sebagai alat komunikasi dengan roh tidak begitu saja dibacakan. Begitu juga untuk membacanya tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang. Berikut beberapa langkah yang menjadi kaidah dalam upacara adat

pemanggilan roh nenek moyang :

Persiapan tempat
Diyakini leluhur (roh) adalah orang-orang yang berpengaruh maka untuk berhadapan dengan mereka, menyambut kedatangan mereka sesuai dengan undangan para nelayan maka tempat-tempat yang biasa dipakai untuk acara pemanggilan dibersihkan. Seperti di tanjung-tanjung bagian laut atau di pinggiran pantai yang sepi untuk memberi kesan bahwa ada penyambutan yang baik.

Apabila keadaan tidak memungkinkan maka saja langsung dibacakan seperti mantera menenangkan ombak. Apalagi ombak tiba-tiba datang pada saat nelayan sedang menyebarkan jalanya.

Persiapan bahan
Dalam rangka pemanggilan ternyata ada bahan-bahan yang harus dipersiapkan seperti wewangian, daun-daunan, bunga (bunga manduru), perahu kecil sebagai symbol perahu yang dipakai nelayan, rokok dan minuman.

Bahan yang dipakai bisa dikatakan sebagai pengganti korban atau sesajen bagi roh-roh atau dapat disebut “tetahulending”. Ada juga mangkuk sebagai tempat minuman (symbol), jumlahnya sesuai dengan jumlah roh yang dipanggil. Apalagi tiga yang dipanggil maka mangkuknya juga tiga. Itu juga termasuk penghormatan dan penghargaan pada roh-roh leluhur.

Persiapan diri

Yang penting juga dipersiapkan adalah diri. Mempersiapkan diri dalam rangka berdialog atau bertemu dengan leluhur (roh) yang diyakini sebagai yang terhormat atau terpandang. Bagaimana mengucapkan mantera (doa), bagaimana cara duduk yang sopan, serta membersihkan diri (mandi) yang bersih agar tidak berbau dan tidak main-main waktu proses pemanggilan berlangsung. Setelah persiapan-persiapan atau langkah-langkah pemanggilan siap, dimulailah pemanggilan roh-roh leluhur. Dalam tulisan ini mantera disebut sebagai doa. Contoh dari isi mantera dan konteks penggunaannya antara lain:

Mantera pembuatan perahu baru

Isi mantera :

Taghuwala tinaling biang tinahang tukang geguwu nihangke suapeng meehese linghareng bentene uwuse kai hangke kalu sehabe marantile ta’ sumasaro I pangumbahase nakao somahe

Artinya :

Tunas yang ditata oleh seorang bas dan dipahat / dibuat oleh tukang besar ditempatkan di pantai suci / perdamaian berdasarkan atau beralaskan kesembuhan atau keselamatan kayu diangkat, dibersihkan, perahu dilepaskan diatas kayu yang membawa berkat ke mana saja dia pergi selalu berhasil.

Penjelasannya :

Dari isi mantera di atas terkandung suatu permohonan agar perahu yang baru dibuat nantinya akan beroperasi dengan baik khususnya menangkap ikan.

Mantera pembuatan peluncuran baru

Isi mantera :

Manondong pato barakati, dalungkang alamate kai pato wulaeng dalungkang kimerong intang i tondo eng bera mapia kimerong intang dolo wengke bou hangke sapua bou tendengang buhu I ihumpa sasi I tahide bowong dagne lawo kalendesang pasisaping balang pangumpiade sindua bengke pundali araro, bahasiang makukundai makukundai uwoba makadadope badao Tuhu urihu iupung, niatoru Lampuaga mobua bou apeng dame linghareng penghiborang apeng ta pebawulone, linghareng ta selone kapuang palede maralending kebi ikami selambung ore lai sehembinggang Sasae mamoto boba mementehe taghaloang abe kataku delangeng, ganghihantangu isenggene u misengge kereapa kai I ghenggona menangkoda.

Artinya :

Melepaskan perahu berkat, mohon berkat, dilepaskan dengan kata indah seperti intan doa yang diangkat atau diucapkan dari tempat perahu timbul dari pantai suci. Baru tiba atau sampai di atas air laut semua laki-laki, masing-masing memegang dayung Sindua dan angkat dayung si Araro sebelum perahu meluncur didahului dengan doa.
Menurut perintah leluhur (iupung), dibuat oleh Lampuaga berangkat dari pantai damai, tempat suci, tanpa ada ganjalan atau tiba dengan selamat, kami semua sehati ya, sehati pergi memotong/mencari jalan mengarungi lautan luas, tidak usah takut, biar perahu bergoyang kita tetap maju bagaimanapun Tuhan akan menjadi nahkoda.

Penjelasannya :

Perahu diluncurkan dengan doa, agar perahu tersebut selalu mendatangkan berkat bagi para pemakainya bahkan diyakini Tuhan pasti menjadi nahkoda dalam perjalanan mereka.

Mantera meminta ikan

Isi mantera :

Losangengtaku losangen katiang taku katiang losangeng sunabing kina, katiang su panunggung malanigang
Taku lonsangu wengi katiangu ralanise, kei wenga maka denta kina, maka songo malanighang, kina talang denta e pakakepale apang su malaude endai e pakaralung apang mahaeng pakahoro e.

Artinya :
Meminta aku meminta, berharap aku berharap Meminta pada nabi ikan, berharap pada penjaga (leluhur) Akan kuberi wewangian, wewangian yang mendatangkan ikan yang banyak, dan jauh di tengah laut di bawah lebih dekat dan yang liar menjadi jinak.

Penjelasannya :

Nelayan mempercai bahwa ikan itu ada nabinya dan ada penjaganya yaitu leluhur, oleh karena itu nelayan harus memintanya dengan sungguh seperti ikan yang jauh dari jala/pukat dibawa lebih dekat. Dengan demikian ikan yang liar menjadi jinak seperti ikan layar (malalugis).

Mantera menenangkan ombak

Isi mantera :

Dorongang su Ratung sasi dinggangu Bokine I Baginda Aling deduang Antarani arenge maning lua gaghuwa benteng marokole, dorongang ketawera kona kaleno I kere lana.

Artinya :

Dimintakan para Raja laut dan permaisurinya Baginda Aling dan Antarani, walaupun ombak sebesar benteng Marokole Dimintakan sebisa mungkin licin / tenang seperti minyak.

Penjelasannya :

Menurut kepercayaan nelayan, laut itu

mempunyai Raja yang bernama Baginda Aling dan permaisurinya Antarani. Olehnya diharapkan Raja dan Permaisurinya dapat menenangkan ombak. Demikian pula diyakini walaupun hanya menyebut nama Raja dan Permaisurinya maka ombak akan tenang.

Perlu diperhatikan, bahwa di pulau Makalehi telah berdiri gedung ibadah Gereja, dan sebagian besar penduduk pulau Makalehi telah menganut kepercayaan agama Kristiani. Dengan demikian, hal tersebut di atas dari sudut pandang iman Kristen merupakan suatu pergumulan teologis, di mana ada kepercayaan yang merupakan warisan adat tradisi di antara para nelayan yang mengakui keberadaan dan peranan roh-roh orang meninggal dalam mempengaruhi kehidupan mereka yang sekarang. Di mana warisan adat dan kepercayaan masyarakat Makalehi itu memiliki segi positif dan negatif, antara lain :

Segi positif :
– Nilai-nilai penghormatan pada yang lebih tua;
– Suasana religius dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja;
– Pengakuan akan keterbatasan manusia dan adanya kuasa yang lebih tinggi;
– Bukti nyata kekayaan sosial budaya kehidupan nenek moyang dahulu kala yang masih diwarisi dan hidup hingga sekarang.

Segi negatif :
– Bentuk penghormatan dan penghargaan yang berlebihan kepada roh-roh orang mati dapat menjadi pendewaan pada leluhur.

Dengan demikian, dari segi budaya perlu dipandang bahwa adat masyarakat Makalehi ini merupakan aset warisan tradisional yang dapat menjadi daya tarik wisata. Sehingga pemerintah dan pihak Gereja diharapkan dapat mengarahkan kepercayaan termasuk tata cara adat membacakan mantera (Opo-Opo) yang mengandung harapan dan permohonan yang tadinya kepada roh-roh, dialihkan kepada Tuhan Pencipta Semesta.

Oke teman-teman, sampai disini cerita singkat saya mengenai sesuatu yang janggal di dengar tetapi merupakan budaya yang perlu di jaga tentunya.

6 Komentar

Filed under Uncategorized

6 responses to “Budaya “Mantera” (Opo-Opo) dalam kehidupan Nelayan di Pulau Makalehi

  1. mantap nih ulasan nhehehehe…sebagai putra asli pulau makalehi saya senang uda di kupas mengenai adat2 di kampungku sendiri,meskipun saya sendiri tdk suka dgn adat2 berbau mistik…

  2. kley

    wah…wah… jaman sekarang masih ada yang begituan,, apa kata dunia ????????

  3. tasya

    inilah kebudayaan yang harus di jaga dan dilestarikan, hahaha mantap bro..

  4. itin

    sulut memang kaya akan budaya,,,,, sippp, ulasannya labih banyak lagi min,,, biar lebih terkenal di mata dunia akan kebudayaan di sulawesi utara. sukses selalu !

  5. gerry

    Ada lagi Opo-opo yang lain bro ?

  6. pulau yang indah. ingin mengunjungi kampung halaman orang tua.

Tinggalkan komentar